SAFIRA SALSABILA
(36412776)
2ID01
ILMU SOSIAL DASAR “KARAKTER WAYANG YANG DISUKAI”
BATARA GANESA
Ganesa adalah salah satu dewa terkenal dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu, yang memiliki gelar sebagai Dewa pengetahuan dan kecerdasan, Dewa pelindung, Dewa penolak bala/bencana dan Dewa kebijaksanaan. Lukisan dan patungnya banyak ditemukan di berbagai penjuru India; termasuk Nepal, Tibet dan Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan lukisan, ia sering digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ia dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa). Berbagai sekte dalam agama Hindu memujanya tanpa mempedulikan golongan. Pemujaan terhadap Ganesa amat luas hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India.
Meskipun ia dikenal memiliki banyak atribut, kepalanya yang berbentuk gajah membuatnya mudah untuk dikenali. Ganesa mahsyur sebagai “Pengusir segala rintangan” dan lebih umum dikenal sebagai “Dewa saat memulai pekerjaan” dan “Dewa segala rintangan” (Wignesa, Wigneswara), “Pelindung seni dan ilmu pengetahuan”, dan “Dewa kecerdasan dan kebijaksanaan”. Ia dihormati saat memulai suatu upacara dan dipanggil sebagai pelindung/pemantau tulisan saat keperluan menulis dalam upacara.[2] Beberapa kitab mengandung anekdot mistis yang dihubungkan dengan kelahirannya dan menjelaskan ciri-cirinya yang tertentu.
Ganesa muncul sebagai dewa tertentu dengan wujud yang khas pada abad ke-4 sampai abad ke-5 Masehi, selama periode Gupta, meskipun ia mewarisi sifat-sifat pelopornya pada zaman Weda dan pra-Weda.[3] Ketenarannya naik dengan cepat, dan ia dimasukkan di antara lima dewa utama dalam ajaran Smarta (sebuah denominasi Hindu) pada abad ke-9. Sekte para pemujanya yang disebut Ganapatya, (Sanskerta: ga?apatya), yang menganggap Ganesa sebagai dewa yang utama, muncul selama periode itu.[4] Kitab utama yang didedikasikan untuk Ganesa adalah Ganesapurana, Mudgalapurana, dan Ganapati Atharwashirsa.
ETIMOLOGI DAN NAMA LAIN
Ganesa memiliki banyak gelar dan nama pujian, termasuk Ganapati dan Wigneswara. Gelar dalam agama Hindu yang dipakai sebagai penghormatan, yaitu Sri (Sanskerta: sri, juga dieja Shri atau Shree) seringkali ditambahkan di depan namanya. Salah satu cara yang terkenal dalam memuja Ganesa adalah dengan menyanyikan Ganesa Sahasranama, sebuah doa pengucapan “seribu nama Ganesa”. Setiap nama dalam sahasranama mengandung arti berbeda-beda dan melambangkan berbagai aspek dari Ganesa. Sekurang-kurangnya ada dua versi Ganesa Sahasranama; salah satu versi diambil dari Ganeshapurana, yaitu sastra Hindu untuk menghormati Ganesa.
Nama Ganesa adalah sebuah kata majemuk dalam bahasa Sanskerta, terdiri dari kata gana, berarti kelompok, orang banyak, atau sistem pengelompokan, dan isha (Sanskerta: ??; isa), berarti penguasa atau pemimpin.[5] Kata gana ketika dihubungkan dengan Ganesa seringkali merujuk kepada para gana, pasukan makhluk setengah dewa yang menjadi pengikut Siwa.[6] Istilah itu secara lebih umum berarti golongan, kelas, komunitas, persekutuan, atau perserikatan.[7] Ganapati, nama lain Ganesa, adalah kata majemuk yang terdiri dari kata gana, yang berarti “kelompok”, dan pati, berarti “pengatur” atau “pemimpin”.[7] Kitab Amarakosha, yaitu kamus bahasa Sanskerta, memiliki daftar delapan nama lain Ganesa: Winayaka, Wignaraja (sama dengan Wignesa), Dwaimatura (yang memiliki dua ibu), Ganadipa (sama dengan Ganapati dan Ganesa), Ekadanta (yang memiliki satu gading), Heramba, Lambodara (yang memiliki perut bak periuk, atau, secara harfiah, yang perutnya bergelayutan), dan Gajanana (yang bermuka gajah).[8]
Winayaka (Sanskerta: vinayaka) adalah nama umum bagi Ganesa yang muncul dalam kitab-kitab Purana Hindu dan Tantra agama Buddha.[9] Nama ini mencerminkan sebutan terhadap delapan kuil Ganesa yang terkenal di Maharashtra yang mahsyur sebagai astawinayaka. Nama Wignesa (Sanskerta: vighnesa) dan Wigneswara (Sanskerta: vighnesvara) (Penguasa segala rintangan) merujuk kepada tugas utamanya dalam mitologi Hindu sebagai pencipta sekaligus penyingkir segala rintangan (vighna).
Nama yang mahsyur bagi Ganesa dalam bahasa Tamil adalah Pille atau Pilleyar (“anak kecil”). A. K. Narain membedakan arti istilah-istilah tersebut dengan mengatakan bahwa pille berarti seorang “anak” sementara pilleyar berarti seorang “anak yang mulia”. Dia menambahkan bahwa kata pallu, pella, dan pell dalam bahasa-bahasa rumpun Dravida berarti “gigi atau gading gajah”, namun lebih lazim diartikan “gajah”.[10] Seorang penulis buku yang bernama Anita Raina Thapan menambahkan bahwa akar kata pille pada nama Pillaiyar mungkin aslinya berarti “gajah muda”, karena kata pillaka dalam bahasa Pali berarti “gajah muda”.
PENGGAMBARAN
Ganesa adalah figur yang terkenal dalam kesenian India. Citra tentang Ganesa menjamur di berbagai penjuru India sekitar abad ke-6.[12] Tidak seperti dewa-dewi lainnya, penggambaran sosok Ganesa memiliki berbagai variasi yang luas dan pola-pola berbeda yang berubah dari waktu ke waktu. Dia kadangkala digambarkan berdiri, menari, beraksi dengan gagah berani melawan para iblis, bermain bersama keluarganya sebagai anak lelaki, duduk di bawah, atau bersikap manis dalam suatu keadaan.
Biasanya Ganesa digambarkan berkepala gajah dengan perut buncit. Patungnya memiliki empat lengan, yang merupakan penggambaran utama tentang Ganesa. Dia membawa patahan gadingnya dengan tangan kanan bawah dan membawa kudapan manis, yang ia comot dengan belalainya, pada tangan kiri bawah. Motif Ganesa yang belalainya melengkung tajam ke kiri untuk mencicipi manisan pada tangan kiri bawahnya adalah ciri-ciri yang utama dari zaman dulu. Patung yang lebih primitif di Gua Ellora dengan ciri-ciri umum tersebut, ditaksir berasal dari abad ke-7.[13] Dalam perwujudan yang biasa, Ganesa digambarkan memegang sebuah kapak atau angkus pada tangan sebelah atas dan sebuah jerat pada tangan atas lainnya.
Pengaruh unsur-unsur kuno dalam susunan penggambaran tersebut masih bisa diamati dalam penggambaran Ganesa secara kontemporer. Dalam sebuah penggambaran modern, satu-satunya variasi terhadap unsur-unsur kuno adalah tangan kanan bawah Ganesa tidak memegang patahan gading namun seolah-olah terarah ke mata pengamat dengan gerak tangan yang melambangkan perlindungan atau penyingkir ketakutan (abhaya mudra).[14] Kombinasi yang sama terhadap empat lengan dan atribut, muncul pada patung Ganesa yang sedang menari, yang merupakan tema terkenal.
ATRIBUT UMUM
Ganesa digambarkan berkepala gajah semenjak awal kemunculannya dalam kesenian India.[15] Mitologi dalam Purana memberi beberapa penjelasan mengenai kejadian yang menyebabkannya berkepala gajah. Salah satu perwujudannya yang terkenal, yakni Heramba-Ganapati, memiliki lima kepala gajah, dan variasi kecil lainnya pada jumlah kepala diketahui. Sementara beberapa kitab mengatakan bahwa Ganesa terlahir dengan kepala gajah, pada cerita yang terkenal dikatakan bahwa ia memperoleh kepala gajah di kemudian hari. Motif utama yang terulang dalam cerita-cerita tersebut adalah bahwa Ganesa lahir dengan tubuh dan kepala manusia, kemudian Siwa memenggalnya ketika Ganesa mencampuri urusan antara Siwa dan Parwati. Kemudian Siwa mengganti kepala asli Ganesa dengan kepala gajah. Detail kisah pertempuran dan penggantian kepala, memiliki beragam versi menurut sumber yang berbeda-beda. Dalam kitab Brahmawaiwartapurana terdapat kisah yang cukup menarik. Saat Ganesa lahir, ibunya, Parwati, menunjukkan bayinya yang baru lahir ke hadapan para dewa. Tiba-tiba, Dewa Sani (Saturnus), yang konon memiliki mata terkutuk, memandang kepala Ganesa sehingga kepala si bayi terbakar menjadi abu. Dewa Wisnu datang menyelamatkan dan mengganti kepala yang lenyap dengan kepala gajah. Kisah lain dalam kitab Warahapurana mengatakan bahwa Ganesa tercipta secara langsung oleh tawa Siwa. Karena Siwa merasa Ganesa terlalu memikat perhatian, ia memberinya kepala gajah dan perut buncit.
Nama Ganesa pada mulanya adalah Ekadanta (satu gading), merujuk kepada gadingnya yang utuh hanya berjumlah satu, sedangkan yang lainnya patah. Beberapa citra menunjukkan ia sedang membawa patahan gadingnya. Hal penting di balik penampilan khusus ini dikandung dalam kitab Mudgalapurana, yang mengatakan bahwa nama penjelmaan Ganesa yang kedua adalah Ekadanta. Perut buncit Ganesa muncul sebagai ciri-ciri khusus pada kesenian patung sejak zaman dulu, yang ditaksir sejak periode Gupta (sekitar abad IV-VI).[16] Penampilan ini amat penting, karena menurut Mudgalapurana, dua penjelmaan Ganesa yang berbeda memakai nama yang diambil dari Lambodara (perut buncit, atau, secara harfiah, perut bergelantungan) dan Mahodara (perut besar).[17] Kedua nama tersebut merupakan kata majemuk dalam bahasa Sanskerta yang melukiskan bagaimana keadaan perutnya. Kitab Brahmandapurana mengatakan bahwa Ganesa bernama Lambodara karena segala semesta (yaitu “telur alam semesta”; IAST: brahmana) di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang ada di dalam tubuhnya. Jumlah lengan Ganesa bervariasi; wujudnya yang terkenal memiliki sekitar dua sampai enam belas lengan.[18] Banyak penggambaran tentang Ganesa yang menampilkan ia bertangan empat, yang telah disebut dalam Purana dan ditetapkan sebagai wujud standar dalam beberapa kitab tentang ikonografi. Wujudnya pada masa awal memiliki dua lengan.[19] Wujud dengan 14 dan 20 lengan muncul di India Tengah selama abad ke-9 dan abad ke-10.[20] Ular adalah tampilan yang umum dalam penggambaran tentang Ganesa dan muncul dalam beragam bentuk.[21] Menurut Ganesapurana, Ganesa melilitkan ular Basuki di lehernya. Penggambaran lain tentang ular meliputi kegunaannya sebagai benang suci (IAST: yajñyopavita) yang dililitkan melingkari perut sebagai sabuk, dipegang di tangan, dililitkan di pergelangan kaki, atau dipakai sebagai mahkota. Pada dahi Ganesa kemungkinan ada mata ketiga atau simbol sekte Siwa (Sanskerta: tilaka), yang berupa tiga garis mendatar. Ganeshapurana mengatakan bahwa tanda tilaka sama saja dengan bulan sabit pada dahi kepala. Wujud tertentu dari Ganesa yang disebut Bhalachandra (IAST: bhalacandra; “Bulan di dahi”) memasukkan unsur penggambaran tersebut. Namun warna lain yang spesifik dihubungkan dengan wujud tertentu.[22] Beberapa contoh mengenai hubungan warna dengan gerakan meditasi tertentu dinyatakan dalam Sritattvanidhi, sebuah buku tentang ikonografi dalam Hinduisme. Sebagai contoh, putih dihubungkan dengan wujud Ganesa sebagai Heramba-Ganapati dan Rina-Mochana-Ganapati (Ganapati yang membebaskan dari belenggu). Ekadanta-Ganapati digambarkan berwarna biru selama bermeditasi dalam wujud itu.
WAHANA
Citra Ganesa pada mulanya tidak disertai dengan wahana (tunggangan).[23] Pada delapan penjelmaan Ganesa yang dinyatakan dalam Mudgalapurana, Ganesa lima kali menggunakan tikus dalam lima penjelmaannya, menggunakan singa saat menjelma sebagai Wakratunda, seekor merak saat menjelma sebagai Wikata, dan menggunakan Sesa, naga ilahi, dalam penjelmaannya sebagai Wignaraja. Pada empat penjelmaan Ganesa yang terdaftar dalam Ganesapurana, Mohotkata menunggangi singa, Mayureswara menunggangi merak, Dumraketu menunggangi kuda, dan Gajanana menunggangi tikus. Dalam pandangan agama Jaina terhadap Ganesa, wahananya ada bermacam-macam, seperti misalnya tikus, gajah, penyu, domba, atau merak.
Ganesa seringkali digambarkan menunggangi atau diantar oleh seekor tikus. Martin-Dubost mengatakan bahwa tikus muncul sebagai wahana yang utama dalam sastra tentang Ganesa, di wilayah India Tengah dan Barat selama abad ke-7; tikus juga selalu ditempatkan dekat dengan kakinya. Tikus sebagai wahana muncul pertama kali dalam kitab Matsyapurana dan kemudian dalam Brahmandapurana dan Ganesapurana, dimana Ganesa menggunakannya sebagai kendaraan hanya pada inkarnasi terakhirnya. Ganapati Atharwashirsa mengandung sloka tentang Ganesa yang menyatakan bahwa gambar tikus terdapat dalam benderanya. Nama Musakawahana (berwahana tikus) dan Akuketana (berbendera tikus) muncul dalam Ganesa Sahasranama.
Tikus ditafsirkan dalam berbagai pengertian. Seorang penulis buku tentang Ganesa bernama John A. Grimes telah menafsirkan makna tikus sebagai atribut Ganesa. Michael Wilcockson mengatakan bahwa tikus melambangkan orang-orang yang ingin mengatasi keinginan dan mengurangi sifat egois.[25] Yuvraj Krishan, seorang penulis buku Ganesa, mengatakan bahwa tikus itu bersifat merusak dan mengancam pertanian. Kata Sanskerta mu?aka (tikus) diambil dari akar kata mu? (mencuri, merampok). Merupakan hal yang penting untuk menaklukkan tikus sebagai hama penghancur, sejenis wighna (rintangan) yang perlu untuk diatasi. Jadi menurut teori tersebut, Ganesa sebagai penguasa tikus menunjukkan fungsinya sebagai Wigneswara (dewa segala rintangan) dan memberi bukti terhadap perannya sebagai gramata-devata (dewa pedesaan) bagi rakyat yang kemudian meningkat kemuliaannya.[26] Paul Martin-Dubost yang juga pernah menulis buku tentang Ganesa memberi sebuah pandangan bahwa tikus adalah simbol yang memberi sugesti bahwa Ganesa, seperti halnya tikus, mampu menembus bahkan memasuki tempat-tempat rahasia.
ASOSIASI RINTANGAN
Ganesa adalah Wigneswara atau Wignaraja, dewa segala rintangan, baik yang bersifat material maupun spiritual. Ia mahsyur dipuja sebagai penyingkir segala rintangan, meski ia juga memasang rintangan pada umatnya yang perlu diberi cobaan. Paul Courtright mengatakan, “pekerjaannya adalah menempatkan dan menyingkirkan rintangan. Itu merupakan kekuasaannya yang utama…”[28]
Yuvraj Krishan menyatakan bahwa beberapa nama Ganesa mencerminkan perannya yang berkembang dari waktu ke waktu.[29] M. K. Dhavalikar beranggapan bahwa karena cepatnya ketenaran Ganesa di antara dewi-dewi Hindu, dan kemunculan para Ganapatya, sehingga ada perubahan tekanan suara dari wignakarta (pencipta rintangan) menjadi wignaharta (penyingkir rintangan).[30] Bagaimana pun, dua fungsi tersebut menjadi amat penting dalam karakter Ganesa, seperti yang dijelaskan Robert Brown, “bahkan setelah Ganesa dalam Purana digambarkan dengan baik, Ganesa meninggalkan banyak hal-hal penting untuk peran gandanya sebagai pencipta dan penyingkir rintangan, sehingga memiliki aspek negatif maupun positif.”.[31]
BUDDHI
Ganesa dianggap sebagai Dewa Aksara dan Pelajaran. Dalam bahasa Sanskerta, kata buddhi adalah kata benda feminin yang banyak diterjemahkan menjadi kecerdasan, kebijaksanaan, atau akal.[32] Konsep buddhi erat dikaitkan dengan kepribadian Ganesa, khususnya pada zaman Purana, ketika banyak kisah menonjolkan kepintarannya dan cinta terhadap kecerdasan. Salah satu nama Ganesa dalam Ganeshapurana dan Ganesa Sahasranama adalah Buddhipriya. Nama ini juga muncul dalam daftar 21 nama di akhir Ganesa Sahasranama yang menurut Ganesa amat penting. Kata priya bisa berarti “yang tercinta”, dan dalam konteks suami-istri bisa berarti “kekasih” atau “suami”,[33] maka nama Buddhipriya bisa saja berarti “Yang dicintai oleh kecerdasan” atau “Suami Buddhi”.
AUM
Ganesa diidentikkan dengan mantra Aum dalam agama Hindu (juga dieja ‘Om’). Istilah o?(ng)karaswarupa (Aum adalah wujudnya), ketika diidentikkan dengan Ganesa, merujuk pada sebuah pemahaman bahwa ia menjelma sebagai bunyi yang utama.[35] Kitab Ganapati Atharwashirsa memberi penjelasan mengenai hubungan ini. Swami Chinmayananda menerjemahkan pernyataan yang relevan berikut ini:
(O Hyang Ganapati!) Engkaulah (Tritunggal) Brahma, Wisnu, dan Mahesa. Engkaulah Indra. Engakulah api (Agni) dan udara (Bayu). Engkaulah matahari (Surya) dan bulan (Candrama). Engkaulah Brahman. Engkaulah (tiga dunia) Bhuloka [bumi], Antariksa-loka [luar angkasa], dan Swargaloka [sorga]. Engkaulah Om. (Itu sebagai tanda, bahwa Engkaulah segala hal tersebut).[36]
Beberapa pemuja melihat kesamaan antara lekukan tubuh Ganesa dalam penggambaran umum dengan bentuk simbol Aum dalam aksara Dewanagari dan Tamil.
CAKRA PERTAMA
Menurut Kundalini yoga, Ganesa menempati cakra pertama, yang disebut muladhara. Mula berarti “asal, utama”; adhara berarti “dasar, pondasi”. Cakra muladhara adalah hal penting yang merupakan manifestasi atau pelebaran pokok-pokok kekuatan ilahi yang terpendam.[38] Hubungan Gansea dengan hal ini juga diterangkan dalam Ganapati Atharwashirsa. Courtright menerjemahkan pernyataan sebagai berikut: “[O Ganesa,] Engkau senantiasa menempati urat sakral di pondasi tulang punggung [muladhara cakra].”[39] Maka dari itu, Ganesa memiliki kediaman tetap dalam setiap makhluk yang terletak pada Muladhara. Ganesa memegang, menopang dan memandu cakra-cakra lainnya, sehingga ia mengatur kekuatan yang mendorong cakra kehidupan.[38]
MITOLOGI KELAHIRAN
Meski Ganesa terkenal sebagai putera dari Siwa dan Parwati, mitos-mitos dalam Purana memiliki ketidakpastian mengenai kelahirannya. Dia bisa saja diciptakan oleh Siwa, atau oleh Parwati, atau oleh Siwa dan Parwati, atau muncul secara misterius dan ditemukan oleh Siwa dan Parwati. Terdapat berbagai versi mengenai kelahiran Ganesa, namun kisah yang paling terkenal berasal dari kitab Siwapurana.
Dalam kitab Siwapurana dikisahkan, suatu ketika Parwati (istri Dewa Siwa) ingin mandi. Karena tidak ingin diganggu, ia menciptakan seorang anak laki-laki. Ia berpesan agar anak tersebut tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumahnya selagi Dewi Parwati mandi dan hanya boleh melaksanakan perintah Dewi Parwati saja. Perintah itu dilaksanakan sang anak dengan baik.
Alkisah ketika Dewa Siwa hendak masuk ke rumahnya, ia tidak dapat masuk karena dihadang oleh anak kecil yang menjaga rumahnya. Bocah tersebut melarangnya karena ia ingin melaksanakan perintah Parwati dengan baik. Siwa menjelaskan bahwa ia suami Parwati dan rumah yang dijaga si bocah adalah rumahnya juga. Namun sang bocah tidak mau mendengarkan perintah Siwa, sesuai dengan perintah ibunya untuk tidak mendengar perintah siapapun. Akhirnya Siwa kehabisan kesabarannya dan bertarung dengan anaknya sendiri. Pertarungan amat sengit sampai akhirnya Siwa menggunakan Trisulanya dan memenggal kepala si bocah. Ketika Parwati selesai mandi, ia mendapati puteranya sudah tak bernyawa. Ia marah kepada suaminya dan menuntut agar anaknya dihidupkan kembali. Siwa sadar akan perbuatannya dan ia menyanggupi permohonan istrinya.
Atas saran Brahma, Siwa mengutus abdinya, yaitu para gana, untuk memenggal kepala makhluk apapun yang dilihatnya pertama kali yang menghadap ke utara. Ketika turun ke dunia, gana mendapati seekor gajah sedang menghadap utara. Kepala gajah itu pun dipenggal untuk mengganti kepala Ganesa. Akhirnya Ganesa dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa dan sejak itu diberi gelar Dewa Keselamatan.
KELUARGA DAN ISTRI
Dalam keluarga Ganesa ada saudaranya yang bernama Skanda, yang juga disebut Kartikeya, Murugan, dan lain-lain. Perbedaan wilayah memberikan versi berbeda tentang jenjang kelahiran mereka. Di India Utara, Skanda biasanya dianggap yang lebih tua, sementara di India Selatan, Ganesa dianggap yang lebih dahulu lahir. Skanda merupakan dewa perang yang mahsyur sekitar tahun 500 SM sampai 600 M, ketika pemujaan terhadapnya berkurang secara signifikan di India Utara. Seiring dengan memudarnya Skanda, Ganesa mulai berkembang. Beberapa kisah menceritakan persaingan antara kedua bersaudara tersebut dan bisa saja mencerminkan ketegangan yang terjadi antar sekte (pemuja Ganesa dan pemuja Skanda).
Status orangtua Ganesa, subjek pembicaraan yang luas bagi para sarjana, memiliki beragam versi dalam cerita-cerita mitos. Salah satu pola dalam mitos mengidentifikasi Ganesa sebagai seorang brahmacarya yang tak menikah.[41] Pandangan ini biasa terdapat di India Selatan dan di beberapa wilayah India Utara. Dalam contoh lain, ia diasosiasikan dengan konsep Buddhi (kecerdasan), Siddhi (kekuatan spiritual), dan Riddhi (kemakmuran); tiga kualitas ini kadangkala dipersonifikasikan sebagai para dewi, yang konon menjadi para istri Ganesa. Dia bisa juga digambarkan dengan satu pasangan saja atau seorang pelayan tanpa nama (Sanskerta: dasi). Dalam contoh lain, ia diasosiasikan dengan dewi kebudayaan dan kesenian, yaitu Saraswati atau Sarda (umumnya di Maharashtra).[42] Dia juga disangkutpautkan dengan dewi keberuntungan dan kemakmuran, Laksmi.[43] Contoh lainnya, terutama yang menonjol di wilayah Benggala, menghubungkan Ganesa dengan pohon pisang, Kala Bo.
Kitab Siwapurana mengatakan bahwa Ganesa memiliki dua putera: Ksema (kemakmuran) dan Laba (keuntungan). Menurut kisah versi India Utara, puteranya seringkali disebut Suba (keselamatan) dan Laba. Film berbahasa Hindi tahun 1975 berjudul Jai Santoshi Maa menampilkan Ganesa yang menikahi Riddhi dan Siddhi lalu memiliki puteri bernama Santoshi Ma, dewi kepuasan. Kisah ini tidak memiliki dasar dari kitab Purana.[45]
SEJARAH KETENARAN KEMUNCULAN PERTAMA
Ganesa muncul dalam wujud klasiknya sebagai dewa yang mudah dikenali dengan atribut-atribut yang tergambar dengan baik pada permulaan abad ke-4 sampai abad ke-5. Shanti Lal Nagar mengatakan bahwa arca paling awal, yang diketahui sebagai wujud Ganesa ada dalam sebuah ceruk di kuil Siwa di Bhumra, yang ditafsir berasal dari zaman kerajaan Gupta.[53] Pemujaan tersendiri terhadapnya muncul sekitar abad ke-10.[54] Narain mengikhtisarkan kontroversi antara pemuja Ganesa dan pandangan akademis terhadap perkembangan Ganesa sebagai berikut:
Apa yang selama ini tak terduga adalah kemunculan Ganesa yang agak dramatis menurut pandangan sejarah. Pelopornya tak jelas. Keterbukaan dan ketenarannya yang luas, yang melampaui batas mahzab dan teritorial, sungguh menakjubkan. Di satu sisi ada kepercayaan bagi umat yang ortodoks terhadap asal-usul Ganesa dari zaman Weda dan dalam Purana terdapat penjelasan yang membingungkan, namun merupakan mitologi yang cukup menarik. Di sisi lain terdapat keraguan mengenai adanya gagasan dan arca tentang dewa ini sebelum abad keempat sampai kelima Masehi.